Bantuan Rehab rumah bagi orang miskin di Indonesia adalah program yang sangat mulia yang diglontorkan oleh pemerintah Negara Idoesia setidaknya hal ini perlu juga diawasi dengan ketat. Artinya jika program Rehab rumah orang miskin justru dimanfaatkan oleh tangan-tangan nakal yang tidak mengenal artinya program mulia itu. seperti adanya dugaan dipotong, adanya data tidak falit, juga penyalagunaan dana itu seperti tidak jatuh kepada yang berhak atau justru jatuh kepada calo bedah rumah, dengan alibi dia yang menugusung program itu atau dia bekerja sama denagan matrial pengadaan alat bangunan dengan memainkan harga satuan juga mengglembungkan segala yang dibelinya sehingga nilai bangunan itu tidak sampai yang diharapkan bagi para orang miskin. Demikian Andri Elyus Luntungan Pengamat International mengungkapkan kepada online saat ditanya mengenai perlanya bagunan rumah orang miskin terus berlanjut sore ini pada online.melalui HP.
Andri juga menambahkan Program Presiden Indonesia membantu Rumah orang miskin yang disebut (RLTH) setidaknya sangat mulya, dan dananya jelas dari Pusat atau masuk dalam RPJMN. dan dan pelaku pelaksananya setidaknya dipercayakan kepada Dinsos dan PUPR dan danannya ditipkan melalui kas daerah, oleh sebab itu disini perlunya pengawasan extra agar dananya tidak bocor kemana saja.Setidaknya disini perlu semua pihak terus memantau benarkah dana itu diterima oleh mereka yang Rumahnya tidak layak Huni.(RLTH). ini masukan saya sebagai pengamat. Artinya saya sebagai pengamat setidaknya belum perlu untuk masuk terlalu dalam buat mengertisi mengani (RLTH), pesan saya tinggal seluruh aparat yang berwenang terus mengawasinya, artinya saya sebagai pengamat tidak ada otoritas untuk masuk kedalam tenis. rasio saya jika pengawasan lemah pasti segalanya bisa terjadi, apa dugaan korupsi, memainkan harga, satuan barang, juga dugaan pungutan bisa saja terjadi didalam kegiatan itu atau Fiktif penerimanya.! Ini yang dapat saya sampaikan kepada anda. Demikian andri Elyus luntungan mengahiri perkataannya.
Apa yang dikatakan Andri tidak berseberangan dengan -Komisi VIII DPR RI meminta Pemerintah melakukan perbaikan sistem pengawasan terkait standar anggaran dalam program bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) bagi warga tak mampu. Hal ini menyusul penerapan yang dilakukan oleh oknum aparat desa.
Bantuan dana RLTH merupakan bantuan stimulan berupa uang untuk pembelian bahan bangunan guna pemugaran rumah tidak layak huni dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat, khususnya untuk warga tidak mampu. Bantuan dana itu disalurkan melalui Pemerintah Daerah (Pemda).
Pemberian bantuan diberikan dengan kriteria warga yang rumahnya tidak memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, dan kesehatan penghuni.
Meski merupakan program Kementerian PUPR, bansos bedah rumah untuk warga kurang mampu yang diberikan itu harus berdasarkan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) milik Kementerian Sosial (Kemensos).
Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina mengatakan, hal tersebut perlu dilakukan agar tidak terjadi pemberian bantuan yang tumpang tindih. Apalagi Kemensos juga memiliki program serupa, yaitu Bansos Rumah Sejahtera Terpadu (RST) yang merupakan lanjutan dari program sebelumnya berupa Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS Rutilahu).
“Kesepakatannya baik itu PUPR dan kementerian atau lembaga manapun yang memiliki program bedah rumah untuk warga miskin maka dia harus berdasarkan DTKS milik Kemensos agar tidak tumpang tindih,” terang Selly, Selasa 18 Juli.
“Kemudian acuan untuk pembangunannya pun harus sama seperti RST dari Kemensos agar tidak ada perbedaan. Selama ini yang dari PUPR jadi ditenderkan rentan sehingga disalahgunakan oleh oknum perangkat daerah, sementara kalau program dari Kemensos uang langsung masuk ke rekening penerima,” lanjutnya.
Dalam program RLTH, Kepala Desa (Kades) biasanya ditugaskan Pemda untuk ikut berkumpul, mulai dari pencairan dana hingga pelaksanaan rehabilitasi rumah warga yang mendapat bantuan. Namun belakangan banyak ditemukan penggelapan dana bansos RLTH untuk masyarakat yang dilakukan oknum Kades. Peristiwa korupsi program bantuan rumah tidak layak huni di antaranya terjadi di Bekasi di mana oknum Kades ditangkap karena menyelewengkan dana sebesar Rp235 juta. Kasus serupa juga pernah terjadi pada tahun 2021 di Bogor, Jawa Barat, yang berakhir dengan seorang oknum Kades ditahan karena korupsi sebesar Rp110 juta.
Sementara itu, seorang mantan Kades di Boyolali diseret ke Pengadilan karena diduga melakukan tindak pidana korupsi dana bantuan program RTLH dengan modus pemotongan dana bantuan. Total nilai kerugian negara mencapai Rp 164 juta.
“Jangan mengambil hak rakyat kecil, apalagi warga yang membutuhkan. Program RLTH ini bertujuan untuk membantu mengentaskan kemiskinan ekstrim yang menjadi ranahnya Kemensos. Jadi perlu melibatkan Kemensos sehingga penyalurannya pun tepat,” papar Selly.
“Penggunaan bantuan anggaran seharusnya harus diperuntukkan bagi Pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), seperti yang dilakukan oleh Kemensos. Nah yang dari PUPR ini pengawasannya harus lebih detail agar tidak mudah disalahgunakan,” tuturnya.
Meski terdapat sejumlah kasus korupsi, Selly menilai program bansos bedah rumah di daerah-daerah harus tetap dijalankan. Sebab bantuan rehabilitasi rumah tidak layak huni itu sangat membantu masyarakat untuk tinggal di perumahan yang layak.
“Bantuan bedah rumah dibuat untuk mewujudkan rumah layak huni yang didukung dengan infrastruktur, sarana, serta utilitas umum sehingga menjadikan rumah yang sehat, aman, dan dengan sanitasi yang baik,” ujar Selly. (Agus dan Anton Jakarta).